Sendiri melawan
arus bukanlah urusan mudah. Apa mau dikata, setiap hati harus memilih dan
melakukan apapun keinginan mereka dengan sadar atau tidak tentang hakikat
hidupnya masing-masing.
Ya! Bukankah
setiap orang berhak memilih jalan hidupnya masing-masing? Ini hak asasi, ini
otonomi diri. Terkadang bukan hanya mata saja yang dibutuhkan untuk melihat,
namun hati juga diperlukan sebagai kontrol serta penyeimbang. Lucu memang
berada di tengah parodi manusia-manusia urban yang hidup bak sapi perah bagi
ambisi dan gengsi mereka sendiri.
Kebahagian bukan selamanya tentang materi. Terkadang
bahagia itu tak terlihat oleh aksesoris duniawi, karena bahagia itu hubungannya
dengan hati. Dengan kesederhanaan pun kalau kita mau bahagia juga bisa
datang. Materi memang bisa membuat orang senang, namun belum tentu ia akan
merasa bahagia. Bahkan untuk melihat sesorang menjadi bahagia dengan mata saja
tidaklah cukup. Apa yang terlihat oleh mata belum tentu sama dengan apa yang
dirasakan di dalam hati. Harta yang melimpah pun tak akan sepenuhnya membawa
kebahagiaan yang sempurna.
Naïf bukan cara berpikirku selama ini?
Ya! Aku memang
naif! Aku hidup dengan pikiran yang terlalu dangkal bagi kebanyakan orang.
Banyak orang bertanya, “Kau bisa meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, dan kau bisa mendapat pekerjaan yang layak. Ibumu mau membantu keuangan
pendidikanmu secara keseluruhan dan kau hanya fokus pada kuliahmu atau kau bisa
ambil kerja part-time. Siapa tahu kau jadi pegawai negeri atau bisa membuka
usaha kelak.”
Ya! Aku bisa dan
aku yakin aku dapat melakukannya. Tapi aku takkan melakukannya.
Cukup sulit ‘kan
membaca pikiranku? Mungkin atau bisa jadi bagi kalian. Sampai-sampai aku merasa
kesal mendengar ocehan orang yang membanggakan anak-anak mereka yang mendapat
title tinggi, S1 atau S2.
Kurenungkan lebih mendalam. Hampir seratus persen batin
dan fikiranku membenarkannya. Namun tidak dalam segala hal, sebab kehidupan tak
bisa terlepas dari garis-garis takdir yang telah Tuhan bentangkan untuk
masing-masing orang. Tidak semuanya mesti berbeda lebih baik hanya karena
keputusan untuk melanjutkan pendidikan. Beda dalam hal tingkah laku,
pengetahuan dan cara pandang itu harus. Tapi berbeda dalam hal materi, ekonomi
dan kedudukan duniawi itu menyangkut takdir orang masing-masing yang katanya
sudah digariskan Tuhan ketika masih dalam kandungan. Orang-orang yang tak
pernah masuk sekolah atau kampus pun akan punya uang banyak jika rezekinya
memang banyak. Demikian pula orang kuliah yang pandai setinggi langit pun jika
rezekinya hanya sedikit, tetap saja sedikit meski sudah diusahakan dengan
berdarah-darah.
Ya! Aku memang
orang yang hanya pasrah pada nasib dan tak mau merubahnya menjadi lebik baik.
Berkali aku
makan sepiring berdua dengan Ibuku, bukan karena ngirit nasi atau malas cuci
piring mengingatkanku pada kepahitan hidup seorang wanita yang hidup sendiri.
Seolah tak punya sanak saudara atau suami dan anak. Tapi beliau memiliki semua,
suami dan anak-anaknya. Tapi beliau menyingkirkan mereka semua dalam pandangan
matanya.
Ya! Ibuku adalah
seorang janda. Janda yang di cemooh suami dan ditinggal anak-anaknya. Wanita
yang di tiadakan oleh saudara-saudaranya.
Ibuku adalah
wanita yang keras dalam pendidikan keluarga. Anggap saja wanita otoriter dan kejam
bagi anak-anaknya. Wanita yang membangkang bagi suaminya. Seorang Ibu yang
malang bagiku.
Kenapa Ibuku di
cemooh suaminya? Karena suaminya tak bertanggung jawab dan mengabaikan
kewajibannya terhadap istri dan anaknya. Tenang menghanyutkan, itulah sifat
bapakku. Ibuku bekerja banting tulang menggantikan posisi suaminya hanya demi
anak-anaknya dapat meneruskan hidup kelak. Suaminya tak terima karena
penghasilan istrinya bisa menghidupi anak-anaknya. Tapi dia tak mau berpikir
bagaimana caranya agar dia bisa menafkahi keluarganya. Dia pun tak mau repot
untuk mengurus anaknya sekolah yang semua biaya di tanggung sang istri. Suami
mencemooh istrinya karena lebih bisa menafkahi keluarganya daripada dirinya.
Kenapa Ibuku di
tinggal anak-anaknya? Bagi Ibuku, shalat adalah hal yang utama dalam kehidupan.
Belajar Al Qur’an bisa menerapkan anak-anaknya dalam bimbingan Illahi. Puasa
adalah kewajiban setahun sekali. Sedekah adalah awal dari tabungan kekayaanmu
kelak. Berdoa dan berusaha. “Jangan pernah meminjam barang milik orang lain
atau dikasihani orang lain. Jika kau mau sesuatu, makan kau harus membelinya
sendiri. Kalau kau tak bisa, maka menabunglah untuk bisa membelinya. Kalau kau
tak punya uang, maka tunggulah hingga kau kau mampu menghasilkan uang atau
bekerja dengan halal. Karena tak ada sesuatu yang manusia berikan kepadamu
selain simpati.” Ya! Begitulah kata Ibuku. Tapi begitu melihat anak-anaknya
yang tumbuh dan besar dengan cara berpikir yang ‘instan’, beliau menganggap
bahwa memang sudah ‘keturunan’ dari bapaknya yang pemalas dan ‘instan’.
Kenapa shalat?
Karena pertama kali yang ditanyakan waktu mati adalah shalat. Kenapa Al Qur’an?
Karena kau mampu belajar tentang semua ilmu pengetahuan dunia akhirat dari
membacanya. Kenapa puasa? Karena kau bisa merasakan penderitaan orang-orang
yang tak mampu makan. Kenapa sedekah? Karena kau miskin, miskin amal dan banyak
dosa.
Kenapa aku
bilang ‘keturunan’? Ya! Beliau suka berjudi. Dan kalian tahu uang yang
dihasilkan dari berjudi. Haram! Dan tahukah kalian jika uang haram yang
dijadikan konsumsi anak-anak mampu membentuk darah dan daging, yah ... mungkin
juga pertumbuhan otak juga berpengaruh kali. Benar. Anak-anak Ibuku tumbuh
dewasa dengan uang haram.
Kenapa
anak-anaknya tak bisa di cegah untuk mengkonsumsi uang haram itu? Ingat
kata-kataku di atas. Suami tenang menghanyutkan dan istri yang otoriter. Paduan
yang bagus. Kurasa, sih otak anak-anaknya dapat sifat dua-duanya tuh. Otak
anak-anaknya hanya uang, uang dan uang karena kebanyakan konsumsi uang haram
dari bapaknya hingga putra-putrinya mampu melakukan apapun demi mendapatkan
uang. Mencuri milik Ibunya, saudara-saudaranya, temannya atau orang lain aku
tak tahu, misalnya.
Hanya
orang-orang bodoh menurutku yang rela mengorbankan semuanya demi uang.
Mengorbankan kasih sayangnya, mengorbankan waktunya. Mereka seperti menjual
diri mereka pada keping rupiah. Mereka rela bersilat lidah hanya demi mendapat
simpati orang lain. Bersilat lidah membicarakan aib sendiri maupun orangtuanya
yang jauh dari kenyataan, sungguh hina. Dan setelah mendapat simpati dan
berteman akrab, apa yang mereka lakukan? Mereka memeras teman-temannya. Kasihan
sekali. Turut berduka cita saja, deh.
Sungguh bodoh
sekali! Setidaknya bagiku. Mungkin bagi kalian berbeda.
Berbagai hal
yang bisa kupelajari salah satunya adalah belajar ihklas. Jika mereka tak bisa
merubah sikap mereka dan bertindak sesuka hati dalam lumpur dosa, maka akupun
bertindak sesuka hatiku. Aku akan jauh lebih baik jika aku melakukan semua
sendiri dalam diam.
“Bersyukurlah
pada yang telah mendzhalimimu,kerana dia yang telah menguji kesabaranmu. Bersyukurlah pada yang telah mengacuhkanmu,kerana dia
yang menjadikanmu berdikari. Bersyukurlah
pada orang yang menyakitimu,kerana dia yang membuatmu selalu tabah. Adakalanya kita perlu tertawa,agar kita tahu mahalnya
nilai Air mata. Adakalanya kita perlu
menangis,agar kita tau bahwa hidup ini bukan hanya untuk tertawa.” Itu ajaran
Ibuku.
Kali ini giliranku. Aku hanya mampu diam di samping Ibuku dan hanya mendengar keluh kesahnya. Membantu sebisaku jika diminta, kadang jika dibantu pasti marah karena di anggap mengganggu. Waktunya bekerja ya kerja, waktunya shalat ya shalat, ngaji, bantuin kerjaan rumah, waktunya main ke rumah teman ya jangan lama-lama. Sering di miscall kalau lama-lama. Benar! Ibuku wanita yang keras, otoriter, kampungan, hebat sekaligus mulia, tegar, atau apapun itu. Whatever! Jika ada kursi singgasana kerajaan di samping kemuliaan seorang Ibu, tak satupun anak-anaknya yang menginginkannya dan di biarkan kosong, maka akupun bersedia mengisinya. Istilah yang hebat. Bravooo!!
Jika
orang lain sibuk bekerja dan kuliah demi tercapainya cita-cita dan membanggakan
orangtua mereka dengan gelar yang hebat, aku berbeda dengan mereka. Aku ingin
menghabiskan waktuku lebih banyak dengan Ibuku. Soal kerja, bisa di atur. Sola
main, gampang. Soal jodoh, pesan saja sama Allah. Mudah ‘kan?
Kenapa begitu?
Aku adalah anak perempuan. Baginya mungkin punya 4 orang anak, tapi yang di
sisinya hanya satu. Ya, pasti tahu maksudku. Seolah hanya aku lah anaknya. Yang
tinggal di sisinya saat ini. Berdua. Andai aku bekerja, waktuku hanya bekerja.
Andai aku main, kulewatkan waktu bersama teman-temanku. Andai aku pergi
menjauh, Ibuku sendiri di rumah. Aku ingin melewatkan waktu bersamanya hingga
aku mendapatkan jodoh yang yang mampu mengimami aku, melewatkan waktu bersama
di rumahku yang hanya berisi dua orang wanita. Bercanda dan saling menghibur di
kala kami makan bersama. Memimpin shalat kami waktu tahajud. Mengisi hidup
kami, seiring berjalan waktu hingga akhir hidup kami kelak bersama kembali
datang kepada-Mu dengan ridha-Mu dan rahmat-Mu.
YA RABB Jadikanlah cinta dan
rindu ini TULUS semata karena-Mu.. Dan hati hanya tertawan oleh-Mu. Ridhailah jiwa ini atas segala
keputusan-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar